STRATEGIC
MANAGEMENT
“Disruption Era”
Prof. Dr. Ir. Hapzi Ali, MM,
CMA
Disusun oleh:
Fauzan 55117120032
Program Studi Magister
Manajemen
Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Unversitas Mercu Buana
Jakarta
Desember 2018
Disruption
Era
Disruption merupakan
singkatan dari disruptive innovation yang dapat diartikan sebagai sebuah inovasi
yang dapat membantu menciptakan pasar baru, tetapi disisi lain juga dapat
mengganggu atau merusak pasar yang ada. Gagasan ini pertama kali dikemukakan
oleh Clayton M. Christensen pada tahun 1997, sebagai cara untuk memikirkan
perusahaan yang sukses tidak hanya memenuhi kebutuhan pelanggan saat ini,
tetapi juga melakukan peramalan apa yang dibutuhkan di masa depan. Era disrupsi
ini ditandai dengan fenomena pergeseran aktivitas masyarakat dari yang awalnya
dilakukan di dunia nyata berpindah ke dunia maya.
Internet, teknologi seluler, kecerdasaran buatan, big data, robotics,
nanoteknologi dan fenomena teknologi lain memiliki potensi untuk menyebabkan
perubahan besar pada perusahaan dan masyarakat. Internet telah mengubah
berbagai industri, seperti musik dan pariwisata, dan dianggap sangat penting
dalam seluruh kegiatan ekonomi. Kecerdasan buatan mengubah industri, terutama
pada bidang yang membutuhkan kolaborasi antara manusia dengan komputer. Big data merubah cara perusahaan
menseleksi, mengakses, memvisualisaikan dan menggunakan data. Robotics telah menghadirkan perubahan
yang signifikan terutama di industri otomotif, aeronautika dan kesehatan.
Nanoteknologi mengubah industri komputer, energi dan juga kesehatan.
Rhenald Kasali mengungkapkan bahwa terdapat 5 hal yang penting dalam
disrupsi, yaitu: disrupsi berakibat terhadap penghematan biaya melalui proses
bisnis yang lebih simpel, disrupsi membuat kualitas apapun yang dihasilkannya
lebih baik ketimbang sebelumnya, disrupsi berpotensi menciptakan pasar baru
atau membuat pasar yang selama ini tertutup menjadi terbuka, produk.jasa hasil
disrupsi harus lebih mudah diakses atau dijangkau para penggunanya, dan
disrupsi membuat segala sesuatu menjadi lebih pintar.
Dalam ilmu manaemen strategik, disrupsi dianggap sebagai hal yang lumrah
dalam dunia bisnis. Pada dasarnya, disrupsi merupakan perubahan yang terjadi
dalam lingkungan bisnis secara alami, yang memang selalu berubah dan dinamis.
Sejak zaman dahulu, disrupsi sebenarnya telah terjadi dan biasanya diakibatkan
oleh terciptanya teknologi sehingga membuat bisnis menjadi lebih efektif dan
efisien.
Perkembangan teknologi memang dapat dikatakan sebagai pemicu, karena
kehadirannya membuat segala sesuatu menjadi lebih mudah untuk diakses. Tentu
akan terdapat banyak pihak yang panic karena terlambat menyadari adanya
perubahan, dimana hal-hal yang sama bisa jadi membuatuhkan cara baru untuk
dapat ditaklukan. Terdapat 3 hal yang harus dipahami telah berubah akibat
disrupsi, yaitu:
·
Pasar yang baru
Disrupsi pada akhirnya berhasil menciptakan suatu dunia baru yang disebut
sebagai digital marketplace. Dunia
tersebut menandakan bentuk pasar yang berubah, dan mengakibatkan konsumen pun
berubah.
·
Nasib yang berbeda
Dalam menghadapi pertarungan yang kompetitif, tidak semua perusahaan akan
mendapatkan hasil yang sama. Perubahan-perubahan yang terjadi menuntut adanya
inovasi untuk dilakukan perusahaan, sehingga inovasi yang berkelanjutan
merupakan kunci bagi perusahaan untuk tetap dapat bertahan.
·
Bersaing dengan business
model
Metode pemasaran pun berubah akibat terjadinya era disrupsi. Persaingan
saat ini tidak lagi hanya terbatas kepada produk tetapi juga melibatkan business model perusahaan. Antara suatu
perusahaan dengan perusahaan lain mungkin memiliki produk yang sama, tetapi business model yang digunakan dapat
menjadi penentu produk mana yang pada akhirnya lebih dipilih oleh konsumen.
Perusahaan harus segera beradaptasi dan mengenali bagaimana keadaan telah
berubah. Pergeseran konsumen dari yang sebelumnya generasi X menjadi generasi Y
dan Z memerlukan pengembangan pada beberapa aspek, termasuk pelayanan. Terdapat
beberapa cara yang dapat dilakukan oleh perusahaan dalam menghadapi era
disrupsi, diantaranya:
·
Trend
watching
Perusahaan harus selalu melihat perubahan tren dalam lingkungan bisnis
yang terjadi. Dengan selalu melihat perubahan tren, perusahaan dapat mengetahui
perubahan-perubahan yang sedang atau berpotensi terjadi sehingga dapat
mendeteksi terjadinya era disrupsi.
·
Research
Untuk mendukung dalam proses melihat perubahan tren, perusahaan dapat
juga melakukan pendekatan riset. Dengan melakukan riset, data yang didapatkan
menjadi dapat terjamin keabsahannya.
·
Risk
management
Lingkungan yang terdisrupsi pada dasarnya merupakan pemicu dari risiko
bisnis, karenanya perusahaan sebaiknya memperlakukan disrupsi sebagai suatu
risiko dan mengelola risiko tersebut agar dampak yang ditimbulkan masih
tergolong dapat diterima perusahaan.
·
Innovation
Dengan melakukan inovasi berkelanjutan, perusahaan diharapkan dapat
membuat terobosan-terobosan baru dalam dunia bisnis sehingga tidak kehilangan
posisinya di pasar.
·
Switching
Apabila perusahaan merasa tidak dapat lagi melakukan inovasi, maka
perusahaan dapat merubah haluan bisnis atau mengganti produk-produk yang sudah
ada sebelumnya.
·
Partnership
Era disrupsi membuat perusahaan sulit untuk bisa bersaing secara mandiri,
hal ini dikarenakan persaingan sudah semakin kompleks dan proses bisnis sudah
sangat ter-inklusi. Untuk dapat bertahan, maka perusahaan dapat mengambil
langkah berkolaborasi serta melakukan aliansi-aliansi strategis agar bisnis
menjadi lebih efektif dan efisien.
·
Change
management
Langkah terakhir adalah dengan melakukan change management. Hal ini dilakukan ntuk mengubah pola pikir dan
kesadaran dari elemen sumber daya manusia dalam organisasi agar dapat saling
bahu-membahu untuk melakukan perubahan.
Disrupsi mengubah banyak hal sedemikian rupa sehingga cara-cara bisnis
lama dapat menjadi ketinggalan zaman. Disrupsi bukan hanya sekedar fenomena
“hari ini”, tetapi juga terkait fenomena “di masa depan” yang sudah harus mulai
dipikirkan dari sekarang. Disrupsi sesungguhnya terjadi secara meluas, mulai
dari pemerintahan, ekonomi, pendidikan, hokum, politik, sampai penataan kota,
konstruksi, pelayanan kesehatan, pendidikan dan hubungan sosial.
Dalam era disrupsi, perusahaan harus mampu menentukan apakah akan
membentuk ulang (reshape) atau
menciptakan sesuatu yang baru (create).
Jika memutuskan untuk reshape, maka
perusahaan dapat melakukan inovasi pada produk/jasa yang sudah dimiliki.
Sedangkan apabila memilih create,
maka perusahaan harus memiliki keberanian untuk memiliki inovasi yang sesuai
dengan kebiasaan konsumen. Apabila perusahaan dapat membaca situasi dengan baik
dan melihat peluang yang ada, maka besar kemungkinan perusahaan dapat bertahan
dalam era disrupsi.
Review
jurnal “Skills for Disruptive Digital Business”
Jurnal “Skill for Disruptive Digital Business” disusun oleh Maria Jose
Sousa dan Alvaro Rocha, dan memfokuskan pada analisis terkait konsep
keterampilan dan menyelidiki keterampilan yang dibutuhkan untuk mengelola disruptive digital business yang
diakibatkan evolusi dalam bidang IT.
Research questions dari
penelitian tersebut terbagi menjadi 5, yaitu:
·
What are
the leading technologies that drive the new disruptive business?
·
What are
the disruptive business that are emerging due to IT?
·
What are
the skills needed to manage the new disruptive business?
·
What is
the level of skills identified by managers to manage the disruptive business?
·
What is
the relationship between the perceived management skills needed for the
disruptive business and the various factors such as gender, type of
organization and job level variables?
Penelitian tersebut terbagi menjadi dua tahapan, tahapan pertama adalah
dengan melakukan interview dengan tujuh spesialis IT untuk mengidentifikasi
teknologi, new disruptive business dan
skill yang dibutuhkan oleh new disruptive
business tersebut. Tahapan kedua adalah dengan melakukan online survey
kepada 250 manajer untuk mendapatkan kesimpulan terkait relasi skill yang
dibutuhkan dalam new disruptive business.
Dari hasil penelitian didapatkan beberapa kesimpulan, yaitu:
·
Beberapa teknologi yang men drive disruptive business antara lain Internet of Things (IoT), Cloud
Technology, Big Data, Mobile Technologies, Artificial Intelligence dan Robotics.
·
Teknologi tersebut mengubah cara pasar dan
organisasi bekerja. Adanya kemungkinan bagi para pekerja untuk membawa
perangkat teknologinya untuk bekerja mengarah pada perubahan structural dalam
lingkungan kerja dan sebagai konsekuensi dari berkembangnya IT dalam bisnis
memungkinkan terbukanya peluang bisnis baru seperti e-tourism, e-education atau
smart cities.
·
Skill yang dibutuhkan terbagi menjadi 3 kategori,
yaitu:
o Innovation skills. Mencakup:
§
Kapasitas untuk berinovasi dan kreativitas,
§
Kapasitas untuk mendiversifikasi area bisnis
§
Kapasitas untuk mengidentifikasi dan mengeskploitasi
peluang bisnis baru
§
Keterampilan manajemen proyek untuk menghubungkan
tujuan proyek dengan konteks bisnis
§
Kapasitas dan kemauan untuk mengambil risiko
§
Kapasitas untuk mengatur sumber daya yang diperlukan
untuk merespons peluang
§
Kapasitas untuk membuat dan mengembankan jaringan
nasional dan internasional
o Leadership skills. Mencakup:
§
Keterampilan yang terkait dengan pengembangan
kinerja karyawan
§
Keterampilan yang terkait dengan pengembangan
peluang baru untuk karyawan melalui teknik seperti pembinaan dan pendampingan
§
Keterampilan yang terkait dengan teknik motivasi
untuk mepotensiasi kinerja karyawan
§
Keterampilan yang terkait dengan teknik untuk
meningkatkan kepuasan karyawan
§
Keterampilan komunikasi untuk meningkatkan komitmen
karyawan
§
Keterampilan yang terkait dengan manajemen
ekspektasi karyawan terkait perkembangan mereka dalam organisasi
§
Keterampilan yang terkait dengan pengelolaan
perbedaan budaya diantara karyawan
o Management skills. Mencakup:
§
Keterampilan yang terkait dengan bentuk baru
organisasi kerja
§
Pengetahuan tentang berbagai jenis teknologi
§
Keterampilan mengenai inisiatif, keputusan, dan
tanggung jawab yang lebih signifikan
§
Keterampilan yang terkait dengan analisis informasi
yang terkait dengan produktivitas, yang menyangkut optimalisasi biaya tenaga
kerja
§
Kapasitas untuk beradaptasi dengan perubahan
organisasi
§
Kapasitas untuk mengelola kesepakatan dan aliansi
strategis
§
Kapasitas untuk mengembangkan kompetensi sosial dan
relasional yang memungkinkan tercapainya kinerja terbaik dari tim
·
Variansi untuk innovation
skills berkisar antara 3,0 dan 3,8, variansi untuk leadership skills berada diantara 3,2 dan 4,5, sedangkan variansi
untuk management skills terletak
diantara 3,3 dan 4,4.
·
Tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara tiga
skills yang dibutuhkan dengan beberapa faktor yang tersebut.
Analisis strategi tantangan dan peluang bagi PT anggota APTIK pada era disrupsi
Apa yang bisa dilakukan oleh manusia semakin terbatas.
Mengumpulkan data, mengompilasinya hingga membentuk pola kini bisa dilakukan
oleh mesin belajar (learning machine),
produk kecerdasan buatan (artificial
intellegence). Kecerdasan buatan ini diantisipasi akan mampu
menggantikan manusia dalam mengambil keputusan yang kompleks. Mesin akan
menggantikan peran eksekutif yang umumnya butuh rapat panjang berhari-hari
untuk tiba pada keputusan kompleks ini.
Dengan kemampuan mesin belajar secanggih ini, apa lagi fungsi
pengajaran? Pertanyaan lebih dasar lagi: apakah pendidikan formal di perguruan
tinggi masih diperlukan, terlebih dengan pernyataan Ernst & Young dan
Google kalau gelar akademik tidak lagi jadi persyaratan mereka dalam seleksi
karyawan. Ini menunjukkan perguruan tinggi tidak lagi agen tunggal untuk
menghasilkan kualifikasi yang dituntut dunia kerja? Bagaimana dunia pendidikan,
khususnya perguruan tinggi anggota APTIK meresponsnya? Apa strateginya, agar PT
APTIK bisa bertahan menghadapi tantangan ini?
Pendidikan merupakan proses untuk menghasilkan perubahan pada
tataran mikro (diri pembelajar), meso (lingkungan terdekat seputar pembelajar)
maupun makro (lingkungan pada skala lebih besar). Proses belajar mengajar
seyogyanya kontekstual dengan merespons pada apa yang menggejala di lingkungan
sekitar, terlebih menghadapi pembelajar yang datang ke institusi pendidikan
tinggi dewasa ini. Mahasiswa saat ini adalah generasi Z (lahir dalam rentang
1995-2010), sementara pasar kerja, yang adalah pengguna lulusan dari pendidikan
tinggi, didominasi oleh Millenial.
Dunia pendidikan tengah dihadapkan
pada tantangan besar dalam menyiapkan lulusannya untuk terjun ke masyarakat.
Pembicaraan terkait link and match yang
dikumandangkan Wardiman Djojonegoro, Menteri Pendidikan Nasional (1993-1998),
sekarang ini menjadi sangat relevan. Pada masa pemerintahan tersebut, tujuan
pendidikan adalah menghasilkan lulusan yang mampu beradaptasi dengan dunia
kerja. Jadi, lapangan kerjanya sudah ada, dunia pendidikan tinggal menyesuaikan
dan menyiapkan lulusan menuju lapangan tersebut. Saat ini, kita berhadapan dengan
lapangan kerja yang terus dan sangat cepat berubah.
Kompetisi pasar yang tinggi. Persaingan lulusan di pasar
kini tidak lagi pada dikotomi lulusan dalam dan luar negeri, atau lulusan dari
PT unggul, tetapi terutama berhadapan dengan teknologi. Proses kerja yang jauh
lebih efisien menghadapkan lulusan pada kompetisi tinggi di pasar kerja. Produk
teknologi tidak lagi sekedar meringankan hidup manusia, bahkan kini telah mampu
menggantikan peran manusia. Di bidang industri jasa kecerdasan buatan/artificial intellegence (AI) sudah
digunakan untuk melayani pelanggan, sehingga jumlah karyawan tereduksi lebih
dari 80%. Pun demikian dengan layanan keuangan, di mana proses penelusuran track record calon debitor mampu
dilakukan oleh AI dengan mudah dan cepat (Tekfin). Pekerjaan menyusun siaran
pers di industri media juga menjadi lebih efisien berkat AI. Dalam bidang
kesehatan produk AI mampu memberikan kesimpulan lebih cepat akan terapi terbaru
dan efektivitasnya dibandingkan kecepatan dokter akses dan baca jurnal.
Kecerdasan buatan juga telah melahirkan platform yang mampu menggantikan fungsi
supervisor pabrik. Singkat kata, produk PT (lulusan) menghadapi pasar yang
sangat kompetitif. Hanya mereka yang memiliki keunggulan saja yang akan mampu
keluar sebagai pemenang di lapangan kerja; survival for the fittest.
Lapangan pekerjaan baru bermunculan. Kehadiran sejumlah model bisnis berbasis teknologi tiba-tiba
menggoncangkan model bisnis tradisional, seperti AirBNB dan Uber, pengelola
taksi dan hotel terbesar di dunia sekarang ini. Menariknya, keduanya tidak
memiliki armada sama sekali, taksi ataupun hotel, tetapi mampu memenangkan
pasar. Tidak hanya sampai di situ, dua bulan lalu AirBNB menggandeng perusahaan
media (Vice) dan menawarkan paket wisata unik di sejumlah kota di dunia. Lagi-lagi
model bisnis yang tidak terbayang 10 tahun lalu.
Pasar
kerja bergerak sangat cepat. Model bisnis seperti AirBNB muncul sekitar 8 tahun
lalu, dan langsung memporak-porandakan bisnis perhotelan model tradisional.
Sementara dunia pendidikan masih dengan proses penyiapan lulusannya untuk
menjadi resepsionis, house keeping,
dan peran sejenisnya untuk bekerja di hotel, dunia industri sudah bergerak
dengan model lain. Dunia pendidikan dan dunia kerja semakin senjang. Apabila
dunia pendidikan tidak antisipasi, kelak akan banyak lulusan menganggur yang
dihasilkan perguruan tinggi.
Profesi
yang potensial hilang atau berubah wujud. Sejumlah profesi disinyalir akan berubah wujud, dan
kemungkinan hilang karena teknologi. Beberapa area terkait konsultasi perlu
cermat mengamati perkembangan ini. Bidang hukum misalnya, perlu waspada dengan
kecerdasan buatan yang mampu memberikan pendampingan di bidang hukum, berbasis big data yang dihimpunnya dari pola
respons di meja persidangan. Pun demikian dengan konsultasi kesehatan dengan
dokter di ruang praktek yang terancam oleh AI.
Hanya ada satu cara untuk selamat
dari era disrupsi ini, yakni berubah. Dunia bisnis paling cepat menyadari hal
ini, dan meresponsnya dengan bertransformasi. Berbeda dengan respons institusi
pendidikan relatif lambat, terlebih mereka yang adalah universitas tua, akibat
kondisi internal organisasi sendiri.
Absennya kritik dan kelas hampir selalu penuh terisi mahasiswa
(karena tuntutan kehadiran kuliah minimal 75%) melelapkan dosen dalam proses
belajar mengajar. Akibatnya, kehadiran Millenial dan generasi Z di dalam kelas
dengan kekhasan mereka hamper-hampir tidak teramati oleh dosen. Alih alih
berubah dalam metode pengajaran, generasi ini dilabel malas, praktis-pragmatis,
tidak mau repot mencari, dan tidak bisa melepaskan hidupnya dari gadget.
Kalaupun dosen melihat TED Talks lebih menarik dibandingkan kuliah di kelasnya,
lagi hal ini diatribusikan pada kecanduan Millenial dan I-generation pada gadget, dan bukan pada kehadiran sumber
belajar lain yang lebih dekat dengan kehidupan generasi ini.
Sikap dosen demikian semakin
diperkuat, karena gelar akademik dihargai dalam masyarakat Indonesia. Perjokian
karya ilmiah atau beredarnya ijazah palsu adalah contoh betapa ijazah dicari
oleh masyarakat. Akan tetapi, dengan kemungkinan belajar dari sumber lain di
luar perguruan tinggi, dan adanya pengakuan ketrampilan kerja ke dalam jenjang
akademik, apakah PT dengan para dosennya masih bisa bersikap tenang menantikan
kehadiran mahasiswa ke dalam kampus?
Kesenjangan
dunia kampus dan dunia industri.
Perguruan tinggi maupun dunia industri sama sama punya kebutuhan untuk
melakukan riset, dengan sasaran yang berbeda. Akademisi melakukan penelitian
dengan orientasi yang kuat untuk pengembangan teori/model, dan lebih menyasar
tuntutan administrative seperti pelaporan BKD, kenaikan jabatan fungsional
dosen, dan akreditasi. Dunia industri membutuhkan riset aplikatif, yang mampu
menjawab langsung kebutuhan industri atau untuk memecahkan persoalan
masyarakat. Tuntutan jurnal ilmiah untuk hasil riset akademisi (seperti Scopus)
sulit untuk bisa diiringkan dengan tuntutan dunia industri.
Pada akhirnya masing-masing dharma
berjalan sendiri-sendiri, dan tidak integratif: pengajaran di kelas cenderung text-book, minim dukungan data dari
lapangan. Kesenjangan yang tinggi, membuat para akademisi semakin terkungkung
dalam menara gadingnya, sementara dunia industri juga berlari sendirian.
Konsekuensi lebih jauh, kajian dunia industri jarang diberikan kepada kampus.
Akademisi dipandang kurang mampu ‘membunyikan’ pasar kerja. Ini sangat berbeda
dengan praktek di belahan dunia lain seperti Jerman, di mana projek dari
industri, pemerintah, atau dari EU banyak yang diserahkan kepada kampus. Karya
akademisi justru diminati dan dinilai unggul, karena metodologinya.
Makin miskin praktek lapangan, makin jauh pula para akademisi dari
permasalahan dunia kerja. Konsekuensinya tentu pada lulusan yang dihasilkannya,
seolah steril dari pasar. Kalaupun kemudian ada kegiatan pengabdian kepada
masyarakat yang dilakukan seorang dosen, itu aktivitas sebagai dharma
pengabdian kepada masyarakat yang berjalan terpisah dari bidang penelitian. Satu
sisi, praktek di atas juga terjadi karena regulasi. Akan tetapi tumbuhnya
perguruan tinggi berbasis industri sebagai respons atas kesenjangan tersebut
menunjukkan langkah strategis untuk menjawab diskrepansi tersebut (catatan:
kecekatan korporasi menangkap peluang bisnis juga ada).
Institusi yang cenderung guyub dan
welas asih. Perguruan tinggi Katolik, tua, sebagaimana pada sejumlah anggota
APTIK ini umumnya dibangun berbasis paguyuban. Suasana kerja yang guyub
ditandai oleh atmosfir kelompok yang nyaman, harmonis, dengan lingkungan
kekeluargaan, saling mengenal dan mendukung satu sama lain. Relasi yang
demikian merupakan basis yang kuat untuk membangun rasa saling percaya untuk
saling mengandalkan satu sama lain. Suasana kerja demikian bernilai positif.
Akan tetapi, ketika lingkungan kerja menuntut pengelolaan secara profesional,
suasana kerja guyub yang terbangun dengan basis emosional akan mengalami goncangan. Kritik sulit
dilakukan atas nama mengganggu harmoni sosial.
Pengembangan isi pembelajaran. Isi pembelajaranlah yang perlu terus diadaptasikan, jika
pengelola program studi tidak ingin terjebak dalam penataan kurikulum. Bahan
kajian bisa saja tetap sama, tetapi fokus penekanan dalam perkuliahan harus
berubah. Kuliah Riset Pemasaran yang sekedar berfokus pada proposal riset, cara
pengambilan data dan analisisnya jelas membuat lulusan tidak laku di pasar,
karena ada big data yang lebih
cepat dan lebih lengkap memotret pola belanja, jenis dan karakteristik produk
yang disasar masyarakat. Pun demikian halnya dengan perkuliahan Observasi dan
Wawancara sebagai instrumen pengambilan data. Materi teknik konseling harus
bergeser dari sekedar kemampuan menggali akar masalah seorang klien, karena AI
terapis bisa lebih akurat dalam mengenali emosi yang tengah dialami
subjek.Matakuliah Pelatihan yang mengajarkan mahasiswa menyusun modul dan
menguji-cobakannya harus mempertimbangkan praktek baru di lapangan. Dunia industri
sudah mulai meninggalkan pelatihan dalam kelas, sebaliknya memulai pembelajaran
berbasis digital yang lebih sesuai Millenial yang kini sudah mendominasi dunia
kerja. Tes Psikologi berbasis komputer perlu diperkenalkan kepada mahasiswa,
tanpa meninggalkan pemahaman alat tes dan tujuan penggunaannya. Penggunaan
skala untuk mengukur prejudice dan diskriminasi sudah bisa dilakukan oleh AI
dengan robot, dengan hasil data lebih akurat. Singkat kata, subjek pengajaran
bisa saja tetap sama, tetapi metodologinya harus berubah. Pembelajar harus
diperkenalkan dengan peran lain, di atas kemampuan yang dihasilkan oleh mesin
belajar.
Bahan kajian baru. Logika
kerja kecerdasan buatan tetap perlu dipahami oleh mahasiswa. Karena itu
bagaimana AI berproses perlu dipahami oleh mahasiswa, khususnya pengolahan big data hingga ditarik kesimpulan
atas sebuah produk. Dengan demikian, mahasiswa bisa segera mengaitkan kuliah
riset pemasaran dengan penggunaan big data yang tengah terjadi di lapangan,
misalnya. Sangat relevan di sini adalah matakuliah coding yang kiranya sangat perlu untuk diperkenalkan pada
mahasiswa non IT.
Kerjasama dengan dunia industri.
Dunia kerja berubah sangat cepat dan tidak ada cara lain kecuali mencermati
perkembangan pasar. Untuk itu, kerjasama kampus dengan dunia industri harus
diintensifkan. Kampus bisa menjadi lokomotif atas tumbuhnya inovasi dan
pertumbuhan, dan industri merupakan laboratorium dari tempat uji temuan
tersebut. Ini bisa terfasilitasi apabila tema riset relevan dengan kebutuhan
dunia industri. Projek riset melibatkan mahasiswa untuk penelitian skripsinya,
dan diperkuat dengan praktek kerja langsung di unit ini. Hasil riset kemudian
dikembangkan lebih lanjut sebagai karya pengabdian kepada masyarakat baik dalam
capacity building karyawannya
dalam bentuk program sertifikasi, dalam bentuk advokasi dan pemberdayaan
masyarakat.
Menjadikan pembelajar sebagai ‘long life learner’ . Merespons pasar kerja yang berubah
dengan sangat cepat, maka perguruan tinggi perlu memasukkan sasaran untuk
menghasilkan pembelajar seumur hidup ke dalam capaian pembelajaran “bagian
sikap dan nilai-nilai”, dan mayoritas matakuliah harus diberi beban untuk
pencapaiannya. Untuk ini, PBM harus memungkinkan berkembangnya pribadi yang
fleksibel, siap beradaptasi, dan bersedia terus belajar untuk mampu
menyesuaikan diri terhadap perubahan. Kunci keberhasilan untuk membangun sikap
dan nilai-nilai ini ada pada dosen. Seorang pengajar yang di dalam dan di luar
kelas menunjukkan antusiasmenya terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, dan berupaya untuk mengenali/menggali/mengkritisinya bersama
mahasiswanya cenderung akan ditiru juga oleh mahasiswanya. Sikap terbuka dengan
mengakui ketidaktahuannya, lalu memberi kesempatan pada mahasiswa untuk
menjelaskan akan menunjang pembentukan sikap tersebut. Peneliti menyadari kalau
ini bukan perihal yang mudah bagi para dosen dengan relasi yang bersifat
hirarkis dengan mahasiswanya. “Mosok sih dosen tidak tahu” merupakan respons
yang tidak diharapkan di masyarakat Indonesia.
Mengembangkan kemampuan berpikir kritis. Institusi
pendidikan harus membangun kemampuan berpikir kritis mahasiswa, agar bisa
merespons derasnya informasi di era teknologi ini dan trampil memilah sambil
mengkritisi keakuratan informasi tersebut. Kehadiran teknologi bak koin dengan
dua sisi: satu memudahkan hidup, tetapi sekaligus ancaman akan kehilangan sense of control. Bisnis dewasa ini
tidak lagi bergerak pada penawaran produk, tetapi upaya untuk meraup data dari
132 juta lebih pengguna internet Indonesia. Big data ini merupakan asupan kepada ahli AI, sehingga
terpetakan pola perilaku manusia: apa yang jadi kesukaan/kebutuhannya dalam
berwisata, berbelanja, makan, dan sebagainya). Kebebasan individu hampir tidak
ada lagi, ke manapun melangkah bisa dideteksi, seolah tidak ada lagi ruang
privat. Mau bebas dari semuanya ini hanya dengan satu cara: tidak menggunakan smartphone. Singkat kata, teknologi
menumbuhkan kemandirian untuk tidak lagi banyak bergantung pada orang lain,
namun perlahan manusia kehilangan kebebasan untuk mengontrol dirinya sendiri.
Fungsi
dosen harus beralih dari transfer pengetahuan menjadi fasilitator dalam
diskusi, ahli yang kaya dengan pengalaman di bidangnya, dan pengarah
nilai/pengawal etika. Mesin belajar belum mampu menyentuh aspek perbedaan
kemampuan individu dalam belajar; pun tidak menyentuh permasalahan etika atau
pelanggaran nilai. Mengikuti taksonomi Bloom (1956 in Krathwohl, 2002), maka
sasaran belajar pada level dasar seperti untuk mengingat dan memahami bisa
diserahkan kepada mesin belajar; atau berbasis digital. Akan tetapi, pada
level-level lebih tinggi, ketika masuk dalam tahap evaluasi maupun kreasi, di
sinilah figur dosen diperlukan. Level evaluasi berbicara kemampuan mahasiswa
memberikan justifikasi atas pandangan dan keputusannya; sementara kreasi
menyasar kemampuan mahasiswa menghasilkan produk atau sudut pandang. Pada
bagian inilah, tampil kekuatan dari pendidikan Katolik yakni pembentukan
karakter, di mana terjadi penanaman nilai melalui proses diskusi dan refleksi
atas isu yang tengah di bahas.
Kembali
pada pembelajaran berbasis digital, maka blended
learning yang mengombinasikan belajar gaya tradisional dengan basis
digital harus dikembangkan. Belajar menjadi lebih efektif, karena mengakomodasi
pembelajar yang adalah digital native dan
menempatkan dosen pada posisi seharusnya di era teknologi.
Dosen
bisa berperan dengan baik di sini, apabila punya pengalaman yang kaya,
mengembangkan case study berbasis
data lapangan sebagai bahan diskusi, mengkritisi praktek di lapangan dari sisi
etika, dan nilai yang akan ditegakkan. Hal ini hanya mungkin terjadi jika dosen
turun ke lapangan; melihat aplikasi teori dalam konteks Indonesia dan isu yang
muncul dalam implementasinya di lapangan. Kegiatan ini bisa berlangsung sebagai
penelitian yang hasilnya kemudian dibawa ke dalam kelas sebagai bahan diskusi.
Dharma pengajaran terintegrasi dengan dharma penelitian. Pemahaman sebuah teori
dari lapangan Indonesia sendiri sekaligus merespons isu menara gading kampus
sebagaimana dipaparkan sebelumnya.
Perguruan
tinggi, terlebih yang usianya tua, terlambat merespons era disrupsi. Kelambanan
lebih terasa lagi pada institusi berlabelkan ‘Katolik’. Sebagaimana power distance yang tinggi pada
relasi dosen-mahasiswa, sifat sentralistik dan hirarkis juga mewarnai
pengelolaan institusi Katolik. Pola demikian tentu menghasilkan pengambilan
keputusan yang lambat, dan sangat hati-hati.
Keterlambatan
merespons tantangan eksternal tidak lepas pula dari sejarah Pendidikan Katolik
di Indonesia yang pada sebuah masa merupakan institusi paling dicari di negeri
ini. Kualitas pendidikan diakui, dan pendidikan karakter sangat menonjol.
Jumlah pesaing yang rendah pada waktu itu membuat perguruan tinggi tua dan
Katolik ini terjebak dalam zona nyaman. Rasa aman dan nyaman ini tetap
terpelihara meski PTS bermunculan di awal tahun 90-an, termasuk institusi
pendidikan yang didirikan oleh kalangan bisnis. Ini bisa dicermati dalam
berbagai pertemuan, entah diselenggarakan oleh Kopertis, Dikti, juga dunia
industri, PT tua jarang menghadirinya. Sebaliknya PT yang lahir belakangan
sangat antusias; mereka sadar dirinya pendatang baru, butuh belajar, ingin
berjejaring untuk mengembangkan institusinya.
Sadar
tidak sadar, kehadiran PTS baru ini cenderung dipandang sebagai ‘kelompok
lain’, tidak sama dengan PT tua Katolik yang unggul ini, sehingga tidak
dirasakan sebagai ancaman. Lebih dari itu, kata ‘bisnis’ dipandang seolah
berseberangan dengan ajaran sosial preferential
option for the poor, maka terjadilah atribusi yang tidak akurat.
Dampaknya tentu pada respons terhadap pertumbuhan PTS lain. Kondisi bak
ditampilkan oleh ‘kancil’ dalam pertandingannya dengan sang kura-kura; terlena
bahkan tertidur, karena persepsi keliru terhadap lawan yang tidak sebanding.
Tantangan untuk mendapatkan mahasiswa baru membangunkan kita semua akan riilnya
kompetitor di depan mata.
Daftar Pustaka
Ali, Hapzi. (2018). MODUL PERKULIAHAN STRATEGIC MANAGEMENT:
Disruption Era. Universitas Mercu Buana
Thompson, A. A.,
Peteraf, M. A., Gamble, J. E., & Strickland III, A. (2014). Crafting
and Executing Strategy : The Quest for Competitive Advantage. McGraw-Hill
Murniarti, Juliana. Era
Disrupsi: Tantangan dan Peluang bagi PT anggota APTIK. Asosiasi Perguruan
Tinggi Katolik (APTIK)
Sousa, Maria Jose & Alvaro
Rocha. Skills for Disruptive Digital
Business. Elsevier, Inc.